Mengetuk Pintu Langit dari Majene: Dzikir Kebangsaan di Tengah Riuh Dinamika Bangsa

fokus86 | MAJENE — Suara lantang kalimat Lailahaillallah Muhammadarrasulullah membelah malam Majene, Rabu (3/9). Langit di atas Pendopo Rumah Jabatan Bupati Majene menjadi saksi ketika ratusan warga larut dalam lantunan dzikir, menunduk khusyuk, mengetuk pintu langit demi kedamaian negeri.

Di tengah situasi bangsa yang belakangan kian bergejolak, Pemerintah Kabupaten Majene menggelar Dzikir dan Doa Kebangsaan—sebuah ikhtiar spiritual yang menyatukan berbagai elemen: dari pejabat pemerintah, tokoh agama, hingga masyarakat akar rumput. Kegiatan ini terlaksana atas kolaborasi antara Pemkab Majene, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Majene, serta BKMT.

Ruang pendopo itu penuh sesak. Di barisan depan, Bupati Majene Andi Achmad Syukri Tammalele duduk berdampingan dengan Wakil Bupati Andi Rita Mariani Basharu. Hadir pula unsur Forkopimda, Sekretaris Daerah Ardiansyah, para camat, lurah, dan pimpinan OPD. Namun sorotan utama malam itu bukan pada pejabat, melainkan pada kekhusyukan ratusan jamaah yang hadir, sebagian membawa anak kecil, sebagian lain mengenakan pakaian putih-putih tanda keikhlasan.

Dipimpin oleh Ketua MUI Majene, yang juga Imam Besar Masjid Abrar Labuang, KH Abd Majid Djalaluddin, lantunan dzikir mengalun penuh getar. Tak hanya menjadi ritual rutin, malam itu dzikir menjadi bahasa perlawanan terhadap keresahan—seruan sunyi yang mengarah ke langit, mencari perlindungan dan harapan di tengah riuh rendah bangsa yang sedang diuji.

Dalam sambutannya, Bupati Andi Achmad Syukri tak sekadar menyampaikan kata-kata protokoler. Ia berbicara sebagai seorang pemimpin daerah yang resah, namun tetap memilih jalan sejuk. “Beberapa waktu terakhir kita menyaksikan adanya aksi demonstrasi di berbagai daerah, bahkan hingga menelan korban. Karena itu, malam ini kita bersama-sama mengetuk pintu langit, memohon agar Majene dan Indonesia tetap dalam suasana damai dan bersatu,” ucapnya dengan nada tenang namun tegas.

Ia mengajak warga untuk tidak mudah terprovokasi. Baginya, aspirasi adalah hak, tapi cara menyampaikannya harus tetap dalam bingkai sopan santun dan cinta tanah air. “Majene adalah rumah kita bersama. Mari kita jaga kedamaian ini dengan kebersamaan. Semoga Allah SWT mengabulkan doa kita semua,” ujarnya.

Acara dzikir kebangsaan ini memang bukan jawaban atas seluruh persoalan negeri. Tapi setidaknya, dari Majene—sebuah kota di Sulawesi Barat—telah dipancarkan sinyal damai dari sebuah forum spiritual. Sebuah pengingat bahwa dalam diam dan doa, rakyat masih percaya pada harapan, dan bahwa bangsa ini masih bisa bersatu lewat nilai-nilai luhur: persaudaraan, kesabaran, dan iman. (Dr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *